1/26/2013

Pendakian Pertama, Gn Gede 2007

Kala itu saya masih duduk di bangku SMA kelas 2. Sebenarnya saya waktu itu sudah menggeluti kegiatan pencinta alam di sekolah, tapi saya jarang datang. Maklum masih jadi anak rumahan, masih terkekang oleh panasnya jeruji besi. hehehe. Pada waktu itu kawan - kawan rumah yang emang sebelumnya suka menggeluti dunia petualangan, ya walaupun hanya beberapa orang, mengajak saya dan kawan - kawan lainnya untuk mendaki gunung gede.Tanpa berpikir panjang, saya pun langsung mengiyakan ajakan mereka, walaupun sebetulnya tidak tau di izinkan apa tidak.

Karena Saya belum mengerti cara perizinan dan yang lainnya, jadi kawan - kawan saya yang mengurus semua perizinan dan juga perlengkapan pendakiannya. Untuk logistik kami patungan per/orang sekitar 20rb. Kawan saya pun berangkat ke Cibodas untuk melakukan pendaftaran, dan katanya perizinan di gunung gede harus boking dan per/orang kena biaya 8rb, dan bawa fotocopy ktp. Dulu juga belum ada sistem online dan peraturan barunya saat itu hanya boleh melakukan pendakian selama 2 hari 1 malam, begitu kata kawan ku. ya kami sii ikuti saja.

Pendakian ini yang melakukan boking dari teman teman saya tadinya ada sekitar 9 orang yang ikut, tapi karena ada berbagai kendala, jadinya yang bisa berangkat hanya ada 4 orang ( Saya, Dedo, Peta, dan Anto). Saya, anak yang baru mau naik kelas 3 SMA di Tangsel, tahun 2007 loh. Dedo (Firandi Armasyah), mahasiswa yang mengikuti mapala agrawitaka "Moestopo" (dulu). Peta (Vieta Indra lesmana), cucu Ketua RW di rumah kami, dan sudah lumayan menggeluti pencinta alam sedari sekolah, ikut mapala stacia UMJ (dulu). Anto, pengusaha rental dan lain-lain, dia belum pernah sama sekali menggeluti dunia alam bebas, sama seperti saya (dulu).

Kami pun mempersiapkan semua perlengkapan dan membeli logistik yang akan di bawa, semua di kumpulkan di rumahnya Anto. Kami membawa 2 tenda, karena 1 tenda hanya cukup 2 orang. Tas Cariel pun sudah begitu tinggi terisi, teman ku yang tidak ikut pun melihat dan berkata, "gede banget tasnya, itu lu yang bawa tasnya Yud?? Awas tulang lu patah nanti", katanya. Saya pun hanya tersenyum saja mendengarnya. sesudah semua beres, Kami pun beristirahat dirumah masing-masing.

keesokan hari, 20 Juni 2007. siang hari kami ber-4 setelah semua berpamitan kepada orang tua masing-masing, kami pun beranjak dari rumah untuk berjalan kaki mencari angkutan umum yang membawa kami ke Ciputat dan lanjut ke Terminal Kampung Raambutan. Dari sini kita bisa naik bus yang ke arah bandung, garut, Tasik atau lainnya, yang penting melewati puncak, nanti kita berhenti di pasar Cipanas, busnya itu sekitar 7rban kala itu. Karena kita naik dari Gn Putri, jadi berhenti di Cipanas, kalau mau naik dari Cibodas, ya berhentinya di Cibodas. Dari pasar Cipanas kami ber-4 sampai sekitar sehabis maghrib. Disini kami belanja keperluan yang kurang-kurang dulu. Setelah semua keperluan serasa cukup, kami pun mencarter angkot untuk membawa kami ber4 k'basecamp terakhir pendakian Gede via Gn Putri.

Dan akhirnya kami mendapatkan angkot, karena kami hanya ber-4, supirnya meminta 5rb per-orang, ya walaupun agak mahal, terima sajalah, karena sudah agak malam juga. Sang supir tampaknya sedang mabuk, bawa mobilnya ugal-ugalan dengan di temani 2 wanita di sebelahnya dan di iringi lagu dangdut ia pun melaju kencang tanpa menghiraukan penumpangnya. ohh nooo !!! ckckckck.

Sekitar setengah jam, akhirnya kami sampai di camp terakhir pendakian gunung gede. Kami bersantai di warung, yang niatnya melakukan pendakian pada esok harinya. Karena dahulu belum tau ada basecamp ranger untuk lapor pendakian. Kami memutuskan untuk di warung saja, dan untungnya si bapak yang punya warung menawarkan untuk bermalam di rumahnya, beruntung sekali. Alhasil kami pun bermalam di rumah bapak pemilik warung, yang sampai sekarang saya tidak tau namanya. ckckckck. yasudahlah kami pun menumpang beristirahat di rumahnya sampai esok pagi menjelang.

Pagi sudah tiba, mentari telah bersinar terang, sekitar pukul 06.00 WIB kami pun beranjak dari rumah si bapak pemilik warung, dan ternyata si bapak bersama istrinya sudah buka warungnya dan sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kami. Kami pun makan secukupnya, ya walaupun Anto makan cukup banyak, karena terakhir makan enak katanya. hhihi. Selesai makan, Kami pun berberes-beres untuk berangkat dan tidak lupa membeli sayuran, walaupun lupa yang namanya mandi. hehe.

Pendakian pun di mulai disini, setelah berpamitan kepada si bapak pemilik warung dan istrinya. Jam menunjukkan pukul 08.15, baru berjalan sebentar ternyata di depan ada pos lapor pendakian Gn Putri, kami lapor dulu. Setelah lapor, kami pun melanjutkan perjalanan. Setengah jam berjalan, Anto sudah agak terengah nafasnya, mungkin karena salah packing cariel dy, karena 1 cariel di isi 2 tenda. Akhirnya Dedo yang membawa cariel itu, Saya berjalan duluan bersama Peta. Tidak lama sebelum sampe pos 1, Dedo minta "break", dan tiba2... huaakk, ia muntah. Peta langsung turun menghampiri dan menanyakan, "lu gapapa Do?. Gpp kok, gw emang gini kalau baru naik, muntah dulu. Dan kami pun melanjutkan perjalanan kembali. sekitar sejam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di pos 1.

Setelah beristirahat sebentar, kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Dari sini kami tidak pernah berhenti lagi yang lama, kecuali untuk minum. Tanjakan demi tanjakan di lalui, tanjakan yang sangat terjal terus menghadang di jalur ini, karena jalurnya jalur air, jadi lumayan terjal. sekitar 2 jam telah berlalu, tiba-tiba kakinya Anto mengalami kram, saya dan dedo berhenti untuk menemani Anto istirahat dulu, sampai kram nya hilang sambil di olesi balsem. Peta sudah duluan di depan jauh, mungkin ia sendirian, karena waktu itu sepi banget yang naik, ada juga orang-orang setempat, yang tapak tilas ke goa ngasih sesaji katanya. mereka jalan aja cepet-cepet banget, udah biasa mungkin, serasa gunung punya sendiri.

Setelah kram di kaki anto sudah agak hilang, kami pun melanjutkan lagi, sambil mengejar si peta, kasian ia sendirian. Tapi makin di kejar malah ga ketemu-ketemu. dan akhirnya pun ketemu di jalan yang agak datar, ia sedang duduk setengah tidur. "ahh lama banget lu pada ngapain siih?" tanya Peta. itu si Anto kram kakinya, jawab saya. Yaudah sini cariel yang di Anto gw yang bawa, udah dikit lagi tuh sampai, Peta berkata. Dan Anto sama Dedo pun jalan duluan akhirnya, saya malah nemenin Peta istirahat. Udah nyantai dulu yud, udah deket ini, Peta bilang demikian, ya saya nyantai juga. hhehe. Sekitar setengah jam kami bersantai-santai. Dan perjalanan pun di lanjutkan lagi, setelah ketemu jalan datar ini, sekitar setengah jam lagi udah mau sampai yang namanya Surya Kencana, sebuah padang rumput yang datar di hiasi pohon-pohon edelweis dengan bunga-bunganya yang cantik. Akhirnya kami pun sampai di Surya kencana sekitar pukul 13.20.
Tenda lawas
Setelah sampai di Suya kencana pun kami langsung mencari tempat untuk mendirikan tenda. Kami mencari tempatnya yang dekat dengan sumber air. Kami pun mendirikan tenda dan bermalam disini. Saya setenda dengan Anto, menggunakan tenda saya yang sudah lawas. hihi. Sementara Peta setenda dengan Dedo. Setelah mendirikan tenda dan masak-masak untu sarapan dan menghangatkan tubuh, kami pun terlelap dalam sunyi dan heningnya surya kencana.

Malam pun tiba, dan kami sudah mulai kelaparan lagi, dan mulai memasak lagi. inilah kenyamanan saat di gunung, sebuah kebersamaan dalam tenda. Berbagi bersama bercerita, bersenda gurau dan tertawa riang. Kehangatan dalam tenda yang dinginnya di luar tidak tau minus berapa, semua terasa hangat dalam tenda kebersamaan, tidak akan kau temukan di mana pun. Setelah perut terisi, Saya dan Anto pun masuk ke tenda saya untuk tidur.

Tapi saya tidak langsung tidur, saya menikmati dulu dinginnya surya kencana. Bau tumbuh-tumbuhan sangat terasa sekali, juga gemerlap bintang-bintang yang sangat dekat, yang tidak pernah saya lihat sedekat ini. Inilah pendakian pertama ku, saya merasakan kebebasan disini (gunung), saya merasa seperti punya pribadi yang baru, itu yang saya rasakan. Kabut pun mulai turun perlahan dan mulai tebal sehingga tenda pun tidak terlihat, Saya pun masuk ke tenda dan memulai tidur pertama kali di dinginnya alam pegunungan, alam para petualangan.

MENGAGUMI BUNGA ABADI (EDELWEIS) DI SURYA KENCANA


Mentari pun sudah menyingsing di
Lembah Surya kencana dan saya kesiangan,
jam menunjukan pukul 06.30. ckckckck. Dedo ternyata sudah bangun sedari pagi untuk mengambil foto sunrise. "sial, gw ga di bangunin". Kami pun bergegas bangun untuk memasak air untuk membuat kopi dan makanan untuk di santap pagi ini sambil berfoto-foto ria. 

Menikmati keindahan alam yang di suguhkan oleh Yang Maha Kuasa. Betapa indahnya bentangan lembah surya kencana yang sangat lah luas dan datar ini. Dengan di hiasi pepohonan edelweis atau yang biasa di sebut bunga abadi. Sebenarnya dulu tak pernah terpikirkan olehku, mengapa di atas gunung terdapat padang datar seluas ini?? padahal gunung kan lancip. mungkin lebarnya sebesar stadion Gelora Bung Karno ya. Inilah bukti kebesaran Tuhan.


PUNCAK GUNUNG GEDE



Setelah selesai berfoto-foto, sarapan dan mempacking barang-barang semuanya, kami berjalan lagi, sekitar pukul 10.35 dan sekarang menuju titik destinasi, yaitu puncak dari gunung Gede, Jalan yang di lalui cukup menanjak juga sekarang seperti jalur yang gunung putri, walaupun tidak begitu terjal, tapi lumayan menguras tenaga. Dari Surya kencana menuju puncak gunung gede, sekitar 45 menit telah kami lalui. Dan akhirnyaaa, kami sampai juga di puncak tertinggi gunung gede. Aku tak bisa berkata apa-apa, indah sekali kawahnnya, menakjubkan.




Di sebelahnya kita bisa melihat Gunung pangrango yang menjulang bersebelahan dengan gunung gede. Segaalaa rasa lelah, cape, penat, dingin, lapar dan lainnya semua terbayar tuntas disini. Indahnya alam ini. Setelah asyik berfoto dan lainnya, karena juga sudah agak panas, jam menunjukan pukul 11.45, kami bergegas turun melalui jalur Cibodas. jalurnya sekarang tinggal menurun aja. Turun dan terus menurun, bergelayutan di pohon - pohon layaknya siamang. hihihi. Setelah melewati tanjakan rante/tanjakan setan, sekitar 2 jam lebih akhirnya kita sampai di shelter yang namnya kandang badak, istirahat sejenak disini. Setelah setengah jam beristirahat, perjalanan turun di lanjutkan kembali.

Dari kandang badak ini, jalan sudah mulai agak mendatar dengan batu-batuan yang tertata rapih, tidak tau siapa yang menatanya. Bebrapa jam kemudian, jam menunjukan pukul 14.45, Kami sampai di air panas. Dan berhenti cukup lama disini untuk menyegarkan diri, mencuci muka, berendam kaki, nyemil makanan dan yang lainnya. Ibarat orang yang udah beli tiket dufan, ga mau rugi banget apa aja di cobain. haha. Kami bersantai disini sekitar sejam an lah. Pukul15.55 Kami melanjutkan perjalanan lagi, dan jalur datar yang tertata ini semakin membosankan rasanya.

Seiring berjalannya waktu, derap kaki semakin sakit dan dengkul mulai goyah, Kami pun sampai di pos Panyancangan, di belakang sana ada air terjun cibeureum yang orang-orang wisata biasa datangi, sampai sini kira-kira pukul 17.15. Lalu Dedo berkata, "udah lanjut aja ya, keburu maghrib soalnya". Okelah setelah meneguk air sedikit, jalan di lanjut lagi, tidak lama sekitar setengah jam kita ketemu dengan jembatan Cibodas. Dan kami berfoto sejenak disini. Setelah itu perjalanan lanjut lagi, sampai lah di telaga biru. katanya siihh telaga ini bisa berganti-ganti warna sesuai musimnya, dan konon pula tempat ini lumayan angker.

Telaga biru ini hanya kami lewati saja, karena juga udah hampir maghrib. Di perjalanan kami berbincang tentang bagaimana nanti pulangnya, apakah masih ada mobil malam-malam gini. mobil buat turun ke Cibodas nya masih banyak ga ya?? Tanya Peta. Banyak, tenang aja. Jawab Dedo. kalo bis dari Cibodas ke jakartanya masih ada ga?? Tanya saya. Nah itu dia, yaudah mudah-mudahan aja masih ada. Jawab Peta.

Setelah lama kami berjalan sambil berbincang-bincang, akhirnya pun kami sampai di pos lapor Green ranger Cibodas, Alhamdulillah. Dan ternyata, Bapak dan Ibu saya sudah menanti kedatangan kami, Bapak dan Ibu saya menjemput saya dan kawan - kawan saya. dan ternyata Beliau sudah menunggu disini dari siang. Senang sekali hati saya, senang bisa di jemput, kami pun lapor di pos ranger. Lalu beristirahat sejenak, makan dan bersiap untuk pulang Terimakasih Tuhan, kawan-kawan, Gn Gede yang banyak memberi ilmu dan manfaat, Bapak dan Ibu yang telah mempercayakanku. Terimakasih semuanya.

"Thousand miles journey must begin with a single step". Dan semua di mulai dari sini.

1/15/2013

?? MENDAKI GUNUNG, mengapa

Pada umumnya kegiatan ini mengundang banyak pertanyaan dari mereka yang awam, antara lain: “Mengapa mendaki gunung”, “Apa yang mereka cari di gunung?”, Mengapa para pendaki bersedia berjuang dan mengorbankan apa yang dimilikinya hanya untuk dapat berdiri sejenak di puncak gunung?” dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang hampir semuanya bernada bingung dan merendahkan.

Sialnya, mereka yang dengan penuh kegagahan telah berani memproklamirkan dirinya sebagai pendaki gunung tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan kepada mereka yang memiliki pertanyaan-pertanyaan diatas. Para pendaki gunung sulit memberikan jawaban yang baku karena pendakian bukanlah suatu usaha pencapaian materi, melainkan suatu usaha pencapaian kebutuhan non materi yang hasilnya hanya dapat dirasakan perindividu yang melakoninya. Setiap pendakian selalu diwarnai oleh pengalaman baru, sehingga kepuasan yang dirasakan tidak hanya terpaku pada suatu sisi.

Diantara mereka yang bergiat dikegiatan ini, ada beberapa yang mencoba menjawab pertanyaan diatas. Goerge F Mallory, seorang pendaki kondang dari Inggris yang kesal karena selalu ditanya mengapa ia mendaki gunung menjawab: “Because it is there!” -Ia bersama dengan seorang rekannya pada tahun 1924 hilang di puncak gunung Everest, dalam usaha pencapaian puncak tertinggi didunia ini, pencapaian yang menjadi cita-cita banyak pendaki didunia walaupun untuk mendapatkannya mesti ditebus dengan nyawa sekalipun. Dari negeri yang indah inipun tampil Soe Hok Gie memberikan jawaban: “Aku cinta gunung karena aku mencintai keberanian hidup” -Keberanian yang akhirnya tertelan batas kehidupan, Ia tewas karena menghisap gas beracun digunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969.

Alm. Norman Edwin, sosok yang dianggap para juniornya sebagai guru dan pendaki yang berprestasi dalam bukunya MENDAKI GUNUNG SEBUAH TANTANGAN PETUALANGAN mencoba menjelaskan bahwa mendaki gunung adalah wujud dari rasa ingin tahu yang ada pada jiwa manusia. Rasa ingin tahu inilah yang melahirkan kebutuhan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan lain, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi dan diakui oleh masyarakat dan bangsanya. Sosok lain yang mencoba ikut memberikan jawaban adalah Alm. Budi Laksmono, “Hidup ini harus lebih dari sekadarnya”, katanya -Ia tewas dalam kegiatan arung jeram disungai Alas, Aceh tanggal 25 Februari 1985.

Kemudian apakah kematian mereka yang saya sebutkan diatas merupakan pertanda bahwa mereka tidak mencintai hidup?, yang pasti mereka semua adalah sosok manusia yang sangat mencintai hidup, sosok manusia yang selalu mencari makna dan arti kehidupan. Mereka tewas dalam usaha untuk memberikan arti lebih pada hidupnya, mereka berjuang dalam lingkup tanda tanya besar, apa itu hidup? dan dimanakah batas-batas kehidupan?. Petualangan adalah salah satu cara untuk mengetahui kemampuan diri dan batas lain dari kehidupan yang sekarang kita jalani, dengan mengetahui ini maka kita akan menghargai dengan tulus kehidupan yang telah diberikan oleh Sang pencipta.

Untuk mengakhiri paragraph ini saya kutipkan kata-kata yang diucapkan oleh Reinhold Messner -Pendaki tujuh puncak dunia dan orang pertama yang menyelesaikan pendakian di area “death zone” (14 puncak yang memiliki ketinggian diatas 8.000mdpl) pegunungan Himalaya. “Jangan bertanya mengapa kami mendaki gunung, karena kami akan selalu memberikan jawaban yang berbeda dan sulit dimengerti. Tapi datanglah kegunung dan temukan jawabannya disana”.

Diantara banyaknya pertanyaan dan dugaan yang sinis terhadap kegiatan ini, muncul pula anggapan dan usaha pengkultusan terhadap mereka yang sukses didalam usaha pencapaian puncak gunung dan bidang petualangan lainnya. Mereka dipuji karena dianggap mampu melampaui batas-batas ketahanan manusia serta mengangkat harkat bangsanya kedalam jajaran bangsa pionir. Contoh dari kasus ini adalah pemberian gelar kerajaan SIR. kepada Edmund Hillary (seorang warga selandia baru) oleh Ratu Inggris atas keberhasilannya sebagai orang pertama yang menjejakkan kakinya dipuncak gunung Everest. Kehormatan ini diraihnya karena Ia dianggap menaikkan citra negara-negara persemakmuran karena prestasi yang diukirnya.

Benarkah mereka yang berjulukan pendaki gunung adalah sosok tegar yang mampu melewati batas-batas ketahanan manusia?, benarkah mereka memiliki ketabahan dan keberanian yang tidak terbatas?. Peter Boardman seorang pendaki yang berhasil mencapai puncak Everest tahun 1975 berkomentar: “Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari dibandingkan bahaya suatu pendakian. Dan dibutuhkan lebih banyak ketabahan untuk bertahan hidup dikota dari pada mendaki gunung yang tinggi”.

Kutipan dari Bapak palang Merah Sedunia, Sir henry Dunant juga sangat ambisius bagi sebuah negaranya, ia berkata, Sesungguhnya sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering berpetualang ke gunung, hutan, dan lautan.

Dr. Michael Stroud dan Sir. Ranulph Fiennes yang telah memecahkan rekor menyeberangi Antartika dan mendaki gunung-gunung disana dengan berjalan kaki tanpa bantuan anjing, kendaraan salju maupun suplai makanan dari udara, ketika ditanya apakah mereka ingin membuktikan kemampuan dirinya dengan melakukan ekspedisi berani mati tersebut, menjawab: “Saya bukan orang yang tergila-gila kepada kutub, tidak sama sekali!. Ekspedisi ini adalah mimpi buruk, tapi kalau tidak ada masalah, tentu orang lain telah melakukannya”. Ucapan Dr. Michael Stroud ini kemudian disambung oleh Sir. Ranulph Fiennes: “Tidak ada daya tarik sama sekali berjalan kaki melintasi Antartika selain kepuasan telah melakukan sesuatu”.

Dari komentar yang dilontarkan oleh mereka yang telah kadung jagoan dibidang mendaki gunung dan bidang petualangan yang lainnya ini, dapat kita simpulkan bahwa mereka yang bergiat dikegiatan ini bukanlah sosok yang super kuat ataupun jauh dari sifat manusiawi, mereka adalah sosok manusia sehari-hari yang memiliki rasa takut kala menghadapi bahaya dan dapat menangis kala kesabaran mereka diuji. Mereka juga bukanlah orang yang haus dengan pujian dan sanjungan, mereka tidak pernah mendaki gunung dengan tujuan mendapatkan medali, mereka lakukan kegiatan ini jauh dari sorak-sorai dan acungan jempol penonton. Kalaupun ada penghargaan yang mereka dapatkan, yaitu bertambahnya percaya diri dan rasa bahagia yang membekas yang dianugerahkan oleh alam karena telah bersedia menjalani hidup suatu waktu dengan cara menyatu dalam harmoni yang dikumandangkannya.

Diakhir tulisan ini saya hanya dapat berharap agar mereka yang awam dengan kegiatan mendaki gunung dapat lebih bijaksana didalam menilai kegiatan ini. Sedangkan bagi mereka yang ingin menggeluti kegiatan ini, mohon mulailah dengan niat yang tulus dan bijaksana, karena hanya dengan cara tersebutlah kita dapat menikmati keindahan ciptaan Tuhan tersebut dan mengambil hikmat dan nikmat dari apa yang telah kita lakukan. Dan bagi mereka yang telah menggeluti kegiatan ini, mudah-mudahan berangkat dari sekedar mendaki gunung kita nantinya akan menjadi sahabat alam yang setia, yang tentunya tidak akan rela membiarkan alam ini dirusak oleh mereka yang memandangnya hanya sekadar sebagai sumber penghidupan.

Ada baiknya disini saya mengutip kalimat yang tertulis dalam catatan perjalanan seorang engineer NASA yang hilang di dipegunungan Alpen. “Aku percaya bahwa alam memiliki pelajaran dan dapat mengajar kita. Aku percaya bahwa alam dengan segala keindahan serta hukum-hukumnya merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Karena itu seorang petualang sejati hanya berjuang untuk menaklukkan dirinya sendiri”. Peraih Nobel Sastra Amerika, Ernest Hemingway pun mengatakan bahwa yang disebut olahraga sejatinya adalah hanya mendaki gunung selain adu banteng, yang lainnya hanya lah permainan.

Akhir kata saya berharap tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Dan bagi rekan-rekan petualang yang telah membaktikan dirinya dengan setulus hati, saya hanya dapat berucap, “Sampai jumpa dipetualangan yang maha besar, petualangan abadi”. TUHAN BERSAMA ORANG - ORANG PEMBERANI.

 

Petualangan Hidup


Hidup itu hanya sekali, begitulah faktanya yang terjadi dalam dunia ini. Dunia yang tak pernah kita tau sebelumnya. hidup di keluarga dan lingkungan yang di mana kita belajar dari sana, bagaimana kita mngenal dan menghadapinya. Keluarga yang membesarkan dan mengajarkan kita untuk menjalani hidup ini lebih baik untuk kita. Terkadang pula lingkungan sosial kita yang membuat dan membentuk jati diri dan kepribadian kita, maupun itu lingkungan rumah dan lingkungan sekolah.

Lingkungan dan keluarga menjadi nomer satu dan dua dalam mengambil andil kepribadian kita. Banyak hal positif dan negatif yang bisa kita ambil dari kehidupan ini, dari lingkungan sekitar kita, dari orang - orang yang kita temui di mana - mana saat setiap kali kita bepergian, itu pula bisa membentuk suatu keharmonisan dalam membentuk pribadi kita. Hidup ini sesungguhnya sangat dan amat indah sekali, hanya tentang bagaimana kita membuat hidup ini menjadi indah bagi kita dan untuk orang lain, dalam dirimu sendiri lah indahnya hidup ini dapat terwujud.

Banyak hal yang bermakna dari kehidupan ini. Sedari kecil hingga dewasa, banyak yang dapat kita petik dari indahnya hidup ini. Buatlah hidup ini lebih bermakna dan bermanfaat, jangan hanya lahir, hidup kemudian wafat. Hidup ini akan lebih bermakna apabila kita menjalaninya dengan mengisi kegiatan dan hal-hal yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Belajarlah lebih banyak akan arti hidup ini kepada orang-orang yang lebih tua, karena mereka pasti lebih berpengalaman dalam menjalani hidup ini, dan supaya kita tahu apa yang seharusnya baik kita ikuti dan yang buruk tidak kita jalani, itu.

Hidup ini pun tidak terlalu seru apabila tidak ada tantangannya, benar begitu?? Ya, hidup ini hanya sekedarnya saja apabila tidak terdapat tantangannya. hidup ini memang terkadang kita jatuh, gagal, dan apapun yang menjadi tantangan dalam hidup ini harus kita hadapi dan kita lalui. Tantangan dalam hal apapun itu, itu yang harus kita jalani. kegagalan dalam hidup ini bukanlah suatu hal yang mengecewakan, tetapi dapat menjadi pengalaman bagi kita untuk menjalani hidup ke depannya supaya lebih baik lagi.

Hidup ini hanya sementara, sukses atau tidaknya, baik atau buruk, semua perjalanan hidup kita ini sebenarnya sudah di atur oleh Tuhan, hanya tentang bagaimana kita memahami, menjalani dan berusaha untuk membuat hidup ini lebih bermakna. hidup ini hanya lah tentang bagaimana setiap seseorang berbuat baik dan membantu antar sesamanya, karena setiap orang pasti tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

Hidup hanyalah sebuah permainan duniawi. Kita sebagai manusia harus terus beribadah kepada-Nya, menjauhi larangan dan mematuhi segala perintah-Nya. setiap manusia berbondong-bondong untuk berbuat baik, agar tidak ingin masuk kedalam lubang raksasa panas yang bernama neraka. Hidup di duniawi ini hanyalah sepotong kecil yang bermakna besar ketika kita hidup di akhirat nanti. Oleh karena itu, beribadah lah kepada-Nya, jangan hanya mementingkan duniawi saja, tetapi untuk di akhirat nanti juga harus di pikirkan. "Buatlah hidup ini bermakna di dunia dan akhirat".

Saya adalah Aku, Aku lah Wirawan Yudakusuma

Saya Wirawan Yudakusuma adalah anak kedua dari Bapak Drs Bintoro M.Si dan Ibu Endang Widawati, saya hanya dua bersaudara dengan Abang saya Rangga Kusuma Nareswara. Abang Saya sudah menikah dengan Lufitasari, dan telah memiliki anak bernama Rafi Kusuma Said Sujono. Saya terlahir dalam keluarga Jawa bahkan Kejawen, kenapa Kejawan? karena Bapakku masih banyak membawa adat-adat Jawa nya, menyimpan banyak pusaka seperti keris-keris, pedang, tongkat, kamar diatas pun di tutup dengan kain berwarna hijau yang konon untuk menarik energi seperti di pantai selatan. dan kejawen yang lainnya. Bapak saya beserta keluarga orang Jogja yang lahir di Magelang dan Ibu saya beserta keluarga orang Solo yang lahir di Wonogiri.

Sejak kecil saya selalu di ajarkan Bapak dan Ibu ku untuk menjadi orang yang kuat dan berani segala msalah  sendiri. Mereka mengajarkan ku untuk lebih dekat dengan alam dan Tuhan, mengajarkan akan budaya jawa dan sejarah-sejarah Indonesia seperti mengajak ke pegunungan, pantai, Masjid-Masjid besar Kasunanan dan para Wali, serta tempat ziarah makam Raja-Raja Jawa, pokoknya yang lebih mendekatkan diri pada alam dan Tuhan.  Bapak orang yang keras, sedangkan Ibu orangnya kalem dan baik sekali. dahulu Bapak kalau sudah marah, bisa ngamuk banget, barang yang di dekatnya bisa melayang-melayang. Beliau marah juga bukan tanpa sebab, terlebih supaya anaknya mengerti apa yang dimaksdunya..

Sejak kecil pun Bapak dan Ibu sudah sering menggojlog atau mengajarkan lebih kepada fisik, supaya saya dan kakakku bisa kuat nantinya juga bisa menjaga diri masing-masing, seperti latihan silat, lari di pantai, dulu hampir setiap minggu ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Dahulu semasih sekolah, saya amat jarang dan tak boleh keluar rumah, jarang sekali, setiap ada bapak pasti tidak berani main atau keluar rumah, jadi sabtu dan minggu pasti dirumah. main kalau sudah belajar terlebih dahulu. kalau sedang main sama teman-teman rumah, tidak boleh lewat dari jam 9-10 malam, pasti sudah di panggil Ibu untuk pulang. tidak heran teman-teman ku menyangka ku anak rumahan atau anak mami.

Seiring berjalannya waktu, sekarang saya sudah lulus sekolah dan mulai berkuliah. Bapak dan Ibu mulai memberikan kebebasan yang lebih, bahkan termat lebih. mereka sudah memberi kepercayaan lebih kepadaku, mungkin karena mereka menganggapku sudah lebih dewasa dan bisa memilih mana yang baik dan buruk. sebenarnya saya sangat senang dengan kebebasan ini, tetapi saya pun harus menjaga kepercayaan dari Bapak dan Ibu, dan harus bisa membanggakan Mereka.