1/15/2013

?? MENDAKI GUNUNG, mengapa

Pada umumnya kegiatan ini mengundang banyak pertanyaan dari mereka yang awam, antara lain: “Mengapa mendaki gunung”, “Apa yang mereka cari di gunung?”, Mengapa para pendaki bersedia berjuang dan mengorbankan apa yang dimilikinya hanya untuk dapat berdiri sejenak di puncak gunung?” dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang hampir semuanya bernada bingung dan merendahkan.

Sialnya, mereka yang dengan penuh kegagahan telah berani memproklamirkan dirinya sebagai pendaki gunung tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan kepada mereka yang memiliki pertanyaan-pertanyaan diatas. Para pendaki gunung sulit memberikan jawaban yang baku karena pendakian bukanlah suatu usaha pencapaian materi, melainkan suatu usaha pencapaian kebutuhan non materi yang hasilnya hanya dapat dirasakan perindividu yang melakoninya. Setiap pendakian selalu diwarnai oleh pengalaman baru, sehingga kepuasan yang dirasakan tidak hanya terpaku pada suatu sisi.

Diantara mereka yang bergiat dikegiatan ini, ada beberapa yang mencoba menjawab pertanyaan diatas. Goerge F Mallory, seorang pendaki kondang dari Inggris yang kesal karena selalu ditanya mengapa ia mendaki gunung menjawab: “Because it is there!” -Ia bersama dengan seorang rekannya pada tahun 1924 hilang di puncak gunung Everest, dalam usaha pencapaian puncak tertinggi didunia ini, pencapaian yang menjadi cita-cita banyak pendaki didunia walaupun untuk mendapatkannya mesti ditebus dengan nyawa sekalipun. Dari negeri yang indah inipun tampil Soe Hok Gie memberikan jawaban: “Aku cinta gunung karena aku mencintai keberanian hidup” -Keberanian yang akhirnya tertelan batas kehidupan, Ia tewas karena menghisap gas beracun digunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969.

Alm. Norman Edwin, sosok yang dianggap para juniornya sebagai guru dan pendaki yang berprestasi dalam bukunya MENDAKI GUNUNG SEBUAH TANTANGAN PETUALANGAN mencoba menjelaskan bahwa mendaki gunung adalah wujud dari rasa ingin tahu yang ada pada jiwa manusia. Rasa ingin tahu inilah yang melahirkan kebutuhan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan lain, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi dan diakui oleh masyarakat dan bangsanya. Sosok lain yang mencoba ikut memberikan jawaban adalah Alm. Budi Laksmono, “Hidup ini harus lebih dari sekadarnya”, katanya -Ia tewas dalam kegiatan arung jeram disungai Alas, Aceh tanggal 25 Februari 1985.

Kemudian apakah kematian mereka yang saya sebutkan diatas merupakan pertanda bahwa mereka tidak mencintai hidup?, yang pasti mereka semua adalah sosok manusia yang sangat mencintai hidup, sosok manusia yang selalu mencari makna dan arti kehidupan. Mereka tewas dalam usaha untuk memberikan arti lebih pada hidupnya, mereka berjuang dalam lingkup tanda tanya besar, apa itu hidup? dan dimanakah batas-batas kehidupan?. Petualangan adalah salah satu cara untuk mengetahui kemampuan diri dan batas lain dari kehidupan yang sekarang kita jalani, dengan mengetahui ini maka kita akan menghargai dengan tulus kehidupan yang telah diberikan oleh Sang pencipta.

Untuk mengakhiri paragraph ini saya kutipkan kata-kata yang diucapkan oleh Reinhold Messner -Pendaki tujuh puncak dunia dan orang pertama yang menyelesaikan pendakian di area “death zone” (14 puncak yang memiliki ketinggian diatas 8.000mdpl) pegunungan Himalaya. “Jangan bertanya mengapa kami mendaki gunung, karena kami akan selalu memberikan jawaban yang berbeda dan sulit dimengerti. Tapi datanglah kegunung dan temukan jawabannya disana”.

Diantara banyaknya pertanyaan dan dugaan yang sinis terhadap kegiatan ini, muncul pula anggapan dan usaha pengkultusan terhadap mereka yang sukses didalam usaha pencapaian puncak gunung dan bidang petualangan lainnya. Mereka dipuji karena dianggap mampu melampaui batas-batas ketahanan manusia serta mengangkat harkat bangsanya kedalam jajaran bangsa pionir. Contoh dari kasus ini adalah pemberian gelar kerajaan SIR. kepada Edmund Hillary (seorang warga selandia baru) oleh Ratu Inggris atas keberhasilannya sebagai orang pertama yang menjejakkan kakinya dipuncak gunung Everest. Kehormatan ini diraihnya karena Ia dianggap menaikkan citra negara-negara persemakmuran karena prestasi yang diukirnya.

Benarkah mereka yang berjulukan pendaki gunung adalah sosok tegar yang mampu melewati batas-batas ketahanan manusia?, benarkah mereka memiliki ketabahan dan keberanian yang tidak terbatas?. Peter Boardman seorang pendaki yang berhasil mencapai puncak Everest tahun 1975 berkomentar: “Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari dibandingkan bahaya suatu pendakian. Dan dibutuhkan lebih banyak ketabahan untuk bertahan hidup dikota dari pada mendaki gunung yang tinggi”.

Kutipan dari Bapak palang Merah Sedunia, Sir henry Dunant juga sangat ambisius bagi sebuah negaranya, ia berkata, Sesungguhnya sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering berpetualang ke gunung, hutan, dan lautan.

Dr. Michael Stroud dan Sir. Ranulph Fiennes yang telah memecahkan rekor menyeberangi Antartika dan mendaki gunung-gunung disana dengan berjalan kaki tanpa bantuan anjing, kendaraan salju maupun suplai makanan dari udara, ketika ditanya apakah mereka ingin membuktikan kemampuan dirinya dengan melakukan ekspedisi berani mati tersebut, menjawab: “Saya bukan orang yang tergila-gila kepada kutub, tidak sama sekali!. Ekspedisi ini adalah mimpi buruk, tapi kalau tidak ada masalah, tentu orang lain telah melakukannya”. Ucapan Dr. Michael Stroud ini kemudian disambung oleh Sir. Ranulph Fiennes: “Tidak ada daya tarik sama sekali berjalan kaki melintasi Antartika selain kepuasan telah melakukan sesuatu”.

Dari komentar yang dilontarkan oleh mereka yang telah kadung jagoan dibidang mendaki gunung dan bidang petualangan yang lainnya ini, dapat kita simpulkan bahwa mereka yang bergiat dikegiatan ini bukanlah sosok yang super kuat ataupun jauh dari sifat manusiawi, mereka adalah sosok manusia sehari-hari yang memiliki rasa takut kala menghadapi bahaya dan dapat menangis kala kesabaran mereka diuji. Mereka juga bukanlah orang yang haus dengan pujian dan sanjungan, mereka tidak pernah mendaki gunung dengan tujuan mendapatkan medali, mereka lakukan kegiatan ini jauh dari sorak-sorai dan acungan jempol penonton. Kalaupun ada penghargaan yang mereka dapatkan, yaitu bertambahnya percaya diri dan rasa bahagia yang membekas yang dianugerahkan oleh alam karena telah bersedia menjalani hidup suatu waktu dengan cara menyatu dalam harmoni yang dikumandangkannya.

Diakhir tulisan ini saya hanya dapat berharap agar mereka yang awam dengan kegiatan mendaki gunung dapat lebih bijaksana didalam menilai kegiatan ini. Sedangkan bagi mereka yang ingin menggeluti kegiatan ini, mohon mulailah dengan niat yang tulus dan bijaksana, karena hanya dengan cara tersebutlah kita dapat menikmati keindahan ciptaan Tuhan tersebut dan mengambil hikmat dan nikmat dari apa yang telah kita lakukan. Dan bagi mereka yang telah menggeluti kegiatan ini, mudah-mudahan berangkat dari sekedar mendaki gunung kita nantinya akan menjadi sahabat alam yang setia, yang tentunya tidak akan rela membiarkan alam ini dirusak oleh mereka yang memandangnya hanya sekadar sebagai sumber penghidupan.

Ada baiknya disini saya mengutip kalimat yang tertulis dalam catatan perjalanan seorang engineer NASA yang hilang di dipegunungan Alpen. “Aku percaya bahwa alam memiliki pelajaran dan dapat mengajar kita. Aku percaya bahwa alam dengan segala keindahan serta hukum-hukumnya merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Karena itu seorang petualang sejati hanya berjuang untuk menaklukkan dirinya sendiri”. Peraih Nobel Sastra Amerika, Ernest Hemingway pun mengatakan bahwa yang disebut olahraga sejatinya adalah hanya mendaki gunung selain adu banteng, yang lainnya hanya lah permainan.

Akhir kata saya berharap tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Dan bagi rekan-rekan petualang yang telah membaktikan dirinya dengan setulus hati, saya hanya dapat berucap, “Sampai jumpa dipetualangan yang maha besar, petualangan abadi”. TUHAN BERSAMA ORANG - ORANG PEMBERANI.

 

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق